Friday, July 27, 2012

PUNK-ISLAMISME DAN POLITIK IDENTITAS

PUNK-ISLAMISME DAN POLITIK IDENTITAS


 


Insiden penangkapan 65 anak punk di Banda Aceh beberapa waktu lalu telah menjadi isu seksi yang ramai diperbincangkan oleh media massa dan elektronik. Insiden tersebut telah menuai protes dari pelbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Bahkan, band punk rock asal Amerika, Rancid, turut memprotes kebijakan itu melalui akun Twitter resminya. “We hate what's going on with our punk brothers and sisters in Indonesia. Rancid's got your back!,” tulis akun Twitter Rancid sebagaimana dikutip Okezone, Sabtu (17/12/2011). Pihak-pihak yang melontarkan protes ini pada umumnya menyatakan bahwa ‘tindakan kekerasan’ dan ‘perlakuan diskriminatif’ pemerintah Aceh terhadap anak-anak punk tersebut telah mencederai prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).
Menurut reportase beberapa media, anak-anak punk tersebut dirazia ketika menghadiri konser musik punk yang bertajuk “Aceh For The Punk, Parade Musik dan Penggalangan Dana Untuk Panti Asuhan” di Taman Budaya, Banda Aceh, Sabtu malam (10/12/2011). Menyimak tema acaranya, anak-anak punk ini nampaknya hendak menunjukkan bahwa punk sesungguhnya memiliki kepedulian terhadap masalah sosial. Ironisnya, pemerintah Banda Aceh justru menganggap mereka sebagai sumber masalah sosial itu sendiri. Di mata pemerintah Aceh, kehadiran anak punk dengan gaya rambut Mohawks, bertato dan bercelana jeans ketat dan berantai itu bertentangan dengan norma-norma Islam dan mencemarkan citra Aceh yang selama ini konsisten menerapkan syariah Islam. 

Punk-Islamisme: Dari Aceh ke Palestina
Di Jakarta, komunitas anak-anak punk yang mengidentifikasi diri sebagai “Punk Muslim” justeru menyuguhkan gambaran yang kontras dengan peristiwa yang terjadi di Aceh. Pada Jum’at 16 Desember 2011 lalu, mereka menggelar aksi demonstrasi di Bunderan HI dalam rangka memperingati hari intifadah dan perjuangan moral mendukung pembebasan rakyat Palestina bertajuk “Punk Muslim Action for Palestine”. Jika di Aceh punk dianggap sebagai polusi Islam yang harus dibersihkan dari pelataran Serambi Mekah, di Jakarta punk justeru menampilkan diri sebagai pembela Islam garda depan yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan Muslim Palestina dengan mengusung spirit pan-islamisme yang kuat. Sayangnya, fenomena unik ini cenderung luput dari pemberitaan media nasional maupun internasional.
Punk Muslim adalah sebuah komunitas, gerakan sekaligus kelompok musik yang berikhtiar melakukan proyek restorasi keimanan dan kesalehan di lingkungan subkultur punk urban yang selama ini identik dengan gaya hidup permisif, hedonistik, bohemian dan anarkis. Berbeda dengan subkultur punk pada umumnya yang kerap mengartikulasikan slogan anti-agama, Punk Muslim justeru menggunakan musik punk sebagai alat untuk memperkuat identitas keislaman mereka. Bahkan, melalui musik punk, anak-anak punk yang tergabung dalam komunitas Punk Muslim mengalami apa yang dapat disebut sebagai proses “kelahiran kembali sebagai Muslim” (born again as Muslim). Lompatan keimanan ini pada muaranya telah mentransformasi ritme kehidupan sosial mereka ke arah yang lebih positif.
Para punkers yang berhimpun dalam komunitas Punk Muslim kerap mengisi waktu-waktu luang untuk belajar mendalami Islam dengan cara mengadakan pengajian rutin dan diskusi berkala, menggulirkan program-program pemberdayaan ekonomi untuk memupuk kemandirian hidup, dan merilis sejumlah album musik punk sebagai wahana untuk mendiseminasikan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, komunitas Punk Muslim telah mengintrodusir pendekatan yang lebih humanis jika dibandingkan dengan kebijakan reaksioner pemerintah Aceh terhadap sejumlah anak-anak punk beberapa waktu yang lalu. Jika pemerintah Aceh menerjemahkan “kepanikan moral” (moral panic) yang mereka alami dengan cara menerapkan pendekatan formalistik-militeristik terhadap anak-anak punk, komunitas Punk Muslim justeru menggunakan pendekatan kultural untuk mentransformasi identitas punk ke arah yang lebih islami. Melalui cara ini, mereka hendak mendemonstrasikan bahwa menjadi Muslim dan punker pada saat bersamaan adalah sesuatu yang mungkin.

Repertoar kultural yang disajikan oleh komunitas Punk Muslim ini pada dasarnya merepresentasikan ikhtiar sejumlah anak muda Muslim Indonesia untuk menegosiasikan elemen-elemen Islam dan modernitas dalam proses-proses kultural dunia global yang ditandai oleh arus pergerakan disjungtifyang  kompleks, tumpang tindih dan serba tidak pasti (Arjun Appadurai, 1996: 33-37). Proses negosiasi tersebut dilakukan dengan cara mengadaptasi praktik-praktik budaya populer global, namun pada saat bersamaan diorientasikan untuk mendorong anak-anak punk agar hidup sesuai dengan syariah Islam. Di satu sisi, simbol-simbol Islam yang diartikulasikan oleh Punk Muslim mencerminkan suatu ikhtiar untuk melestarikan keyakinan, nilai dan identitas Islam ortodoks, namun di sisi lain, bentuk-bentuk dan praktik-praktik yang ditampilkan jelas-jelas bertautan erat dengan trend-trend dan ikon-ikon budaya anak muda global (global youth culture). Dengan demikian, komunitas ini sesungguhnya sedang melakukan gerakan kontra-kultur dengan cara meminjam citra dan praktik yang berkembang dalam budaya populer global dan kemudian memberikan makna baru untuk menolak ide-ide dan nilai-nilai dominan dalam budaya tersebut yang dianggap bertentangan dengan ide-ide dan nilai-nilai Islam ortodoks (Dick Hebdige, 1979: 3).
 
Puritanisme dan Liberalisme Islam
Punk Muslim bukanlah satu-satunya subkultur Islam urban yang menggunakan pendekatan kultural dalam rangka mempertahankan nilai-nilai dan identitas Islam ortodoks di tengah gempuran budaya global. Selain Punk Muslim, terdapat komunitas lain yang melakukan upaya modifikasi dan naturalisasi bentuk-bentuk dan praktik-praktik budaya populer global sebagai alat untuk mengkonstruksi dan merefleksikan sudut pandang keagamaan mereka – seperti komunitas Underground Tawheed, Salam Satu Jari (One Finger Underground Movement), Ghurabaa (Militant Tauhid) dan sebagainya. Subkultur Islam urban ini pada umumnya mengartikulasikan model pemahaman keislaman yang dalam banyak hal memiliki paralelitas dengan konstruksi wacana keislaman yang disodorkan oleh beberapa institusi Islam yang di mata kalangan Islam liberal kerap diidentifikasi sebagai kelompok ‘puritan’ dan ‘konservatif’.
Oleh karena itu, meskipun subkultur Islam urban ini seringkali memekikkan slogan anti-kapitalisme, anti-penindasan dan anti-kemapanan seperti subkultur punk atau komunitas underground pada umumnya, namun pada saat bersamaan mereka juga mengumandangkan slogan anti-sekularisme, anti-liberalisme dan anti-pluralisme. Pada level ini, subkultur Islam urban memosisikan diri secara diametral dengan beberapa eksponen Islam liberal yang justeru mempromosikan sekularisme, liberalisme dan pluralisme sebagai pilar-pilar penting dalam wacana dan praksis demokrasi. Ironisnya, pendekatan kultural yang selama ini didakwahkan oleh para proponen Islam liberal justeru telah digunakan oleh mereka dalam skala dan cakupan yang cukup luas. Fakta ini tercermin dalam kemampuan mereka untuk mengakomodasi dan mengapropriasi praktik-praktik budaya populer dan melakukan penetrasi ideologi ke dalam situs-situs budaya populer sebagai wahana untuk mengkonstruksi dan mendiseminasikan satu varian penafsiran atas Islam dalam medan pertempuran makna Islam di ceruk pasar Islam Indonesia kontemporer.
Kendati demikian, pendekatan kultural yang dirilis oleh subkultur Islam urban ini dalam banyak kasus lebih diorientasikan untuk memuluskan proyek islamisasi kebudayaan dan cenderung kurang memberikan ruang bagi proses indigenisasi Islam dan budaya global. Kegagalan untuk merangkul matriks indigenisasi dalam ekspresi kesenian subkultur Islam urban ini barangkali terjadi lantaran model pemahaman keagamaan yang kurang berakar kuat pada tradisi Islam (turâts) di satu sisi dan sebagai konsekuensi dari proses deprivasi pengetahuan keagamaan dalam sistem pendidikan Indonesia di sisi lain. Komunitas-komunitas subkultur Islam urban ini sesungguhnya bergerak di luar radius khazanah keislaman tradisional, namun pada saat bersamaan dibebani oleh hasrat yang kuat pada simbol-simbol dan idiom-idiom Islam sebagai jaring pengaman keimanan dan kesalehan dalam arus perlintasan budaya global.
Meskipun demikian, politik wacana yang selama ini menjadi trendsetter para penyokong Islam liberal nampaknya perlu berkaca pada politik budaya subkultur Islam urban ini. Wacana dan perbincangan Islam liberal selama ini terkesan begitu dibebani oleh prasangka-prasangka ideologis, ditandai oleh penekanan berlebihan pada hermeneutika tekstual ketimbang hermeneutika sosial, dan disibukkan oleh hasrat yang kuat untuk mencetuskan produk-produk pemikiran elitis yang cenderung kurang berjangkar erat pada realitas keseharian masyarakat Muslim Indonesia (Islam in everyday life). Oleh karena itu, mereka seolah kurang akrab (lack of familiarity) dengan pola-pola kebudayaan baru dan cenderung mengabaikan arus-arus perkembangan kesenian urban yang justru menjadi lokus artikulasi kaum muda Islam urban yang mengalami marginalisasi dan kekecewaan terhadap gempuran konsumerisme.
Padahal, keberhasilan proyek moderasi Islam di Indonesia pada masa lalu justeru dimungkinkan melalui pintu-pintu kesenian dan proses negosiasi kultural yang panjang antara Islam dan elemen-elemen kebudayaan Nusantara. Di negeri kepulauan  ini, musik telah menjadi salah satu barometer penting dari proses dinamis antara islamisasi indonesia dan indigenisasi Islam yang merambat secara berkesinambungan. Proses indigeniasi  Islam  melalui ekspresi estetik ini memiuh dari sengketa institusional hitam putih dunia politik, terutama politik yang dipahami sebagai arena pertarungan kekuasaan.   Musik tak hanya berhenti sebagai hiburan dan kesenangan sesaat, lebih jauh,  dalam kenyataannya, seringkali berfungsi sebagai instrumen penting dalam ‘perebutan makna baru’ yang memiliki kelenturan dalam menyerap kekayaan budaya dan dalam jangka panjang menjadi benteng pertahanan dari kategori luas yang disebut sebagai politik kebudayaan.

Sumber :Rahmat Kemat
 

0 comments: